Dana Lender Mandek Berbulan-bulan, Direksi Platform Pendanaan Digital Dilaporkan ke Bareskrim - Warta Global Jatim

Mobile Menu

Entertainment

Responsive Leaderboard Ad Area with adjustable height and width.

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Dana Lender Mandek Berbulan-bulan, Direksi Platform Pendanaan Digital Dilaporkan ke Bareskrim

Sunday, 14 December 2025

Jakarta Warta Global Jatim.id
Dugaan persoalan serius dalam pengelolaan dana lender mencuat ke ranah hukum. Dua investor melaporkan salah satu anggota direksi perusahaan penyelenggara platform pendanaan berbasis teknologi informasi ke Bareskrim Polri, setelah dana investasi bernilai miliaran rupiah tak kunjung dapat dicairkan meski tercatat aktif dalam sistem aplikasi.

Laporan polisi tersebut telah diterbitkan dan saat ini berada dalam tahap penyelidikan. Kasus ini membuka kembali pertanyaan besar mengenai transparansi, akuntabilitas, serta efektivitas perlindungan lender dalam industri pendanaan digital yang selama ini dipromosikan sebagai aman, cepat, dan berbasis sistem.

Para pelapor berinisial YN dan BS mengungkapkan telah menempatkan dana masing-masing sebesar Rp3 miliar dan Rp1,433 miliar melalui platform resmi yang dikelola PT terkait. Penempatan dana dilakukan berdasarkan perjanjian layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi sebagaimana diatur dalam regulasi sektor jasa keuangan.

Berdasarkan dokumen dan tangkapan layar sistem yang dimiliki pelapor, dana tersebut diterima perusahaan, tercatat dalam sistem internal platform, serta ditampilkan pada akun lender sebagai dana aktif yang dapat diajukan penarikan.

Namun ketika permohonan pencairan diajukan sejak Juni hingga Agustus 2025, seluruh pengajuan berhenti pada status “Request”. Tidak ada realisasi pencairan, tidak ada notifikasi lanjutan, dan tidak ada kejelasan tahapan penyelesaian, meski permintaan tersebut telah berbulan-bulan tercatat dalam sistem.


Upaya klarifikasi melalui layanan pelanggan perusahaan disebut hanya menghasilkan jawaban normatif. Pihak perusahaan menyampaikan bahwa pencairan belum dapat dilakukan karena dana dari pengembang proyek belum tersedia.

Namun penjelasan tersebut disampaikan tanpa dokumen pendukung, tanpa kepastian waktu, dan tanpa skema penyelesaian yang terukur. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana tanggung jawab penyelenggara platform atas dana lender yang masih tercatat aktif dalam sistem mereka.


Merasa tidak memperoleh kepastian, para lender melalui penasihat hukum melayangkan somasi resmi pada 11 Agustus 2025 kepada jajaran direksi dan bagian legal perusahaan di Jakarta Selatan. Somasi tersebut secara tegas meminta pengembalian dana dalam jangka waktu yang patut.

Namun hingga batas waktu berlalu, tidak ada tanggapan resmi maupun realisasi pencairan. Komunikasi lanjutan dengan pihak legal perusahaan pun tidak memberikan kejelasan mengenai mekanisme dan tenggat penyelesaian.

Langkah administratif kemudian ditempuh melalui pengaduan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK memfasilitasi proses mediasi daring antara para pelapor dan pihak perusahaan. Dalam forum tersebut, perusahaan kembali menyatakan belum dapat memenuhi permintaan pengembalian dana. Mediasi berakhir tanpa kesepakatan.

Di luar persoalan pencairan dana, pelapor juga mencermati adanya kejanggalan pada data proyek pendanaan dalam sistem aplikasi. Salah satu proyek yang masih tercantum sebagai aktif disebut telah selesai dan tidak lagi mengajukan pendanaan baru.

Informasi tersebut diperoleh pelapor melalui komunikasi langsung dengan pihak penerima pendanaan. Namun hingga saat ini, status proyek tersebut belum diperbarui dalam sistem aplikasi platform, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai akurasi data yang disajikan kepada lender.


Atas rangkaian peristiwa tersebut, tim penasihat hukum yang terdiri dari Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc., Ario Andika Baskoro, S.H., Moh. Farid Fauzi, S.H., serta dua rekan lainnya melaporkan salah satu anggota direksi perusahaan ke Bareskrim Polri.

Menurut Dr. Wahju Prijo Djatmiko, langkah hukum ditempuh setelah seluruh upaya non-litigasi tidak memberikan kepastian.


 “Yang dicari para lender bukan sekadar janji, tetapi kepastian hukum atas dana yang secara sistem masih dinyatakan aktif. Ketika komunikasi, somasi, dan mediasi tidak menghasilkan solusi, jalur hukum menjadi pilihan terakhir,” tegasnya.



Ario Andika Baskoro menilai persoalan ini berpotensi berdampak luas terhadap kepercayaan publik.


 “Jika sistem menyatakan dana dapat ditarik, tetapi faktanya tidak bisa dicairkan, maka masalahnya bukan lagi teknis, melainkan menyangkut kredibilitas dan tata kelola,” ujarnya.

Sementara itu, Moh. Farid Fauzi menyoroti ketergantungan penuh lender terhadap informasi digital yang disajikan platform.

“Dalam ekosistem pendanaan berbasis aplikasi, lender tidak memiliki akses langsung ke dana maupun proyek. Ketika informasi dalam sistem tidak sejalan dengan realisasi, posisi pengguna menjadi sangat rentan,” katanya.


Kasus ini menegaskan tantangan pengawasan di sektor pendanaan digital. Meski berada di bawah pengawasan regulator, sengketa antara lender dan penyelenggara platform masih kerap berlarut-larut, sementara akses informasi bagi pengguna sangat terbatas.

Investasi berbasis teknologi menuntut tata kelola yang transparan, akuntabel, dan dapat diverifikasi. Ketika mekanisme pencairan dana tidak berjalan sesuai yang ditampilkan sistem, risiko yang muncul bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga erosi kepercayaan publik terhadap industri pendanaan digital secara keseluruhan.

Hingga berita ini diturunkan, pihak PT terkait belum memberikan pernyataan resmi atas laporan polisi maupun proses penyelidikan yang tengah berlangsung. Tim penasihat hukum menyatakan akan terus mengawal perkara ini dan membuka ruang komunikasi apabila terdapat langkah konkret yang memberikan kepastian hukum bagi para lender.(Tomo)