SEMA No. 3 Tahun 2015: Senjata Tumpul Jaksa dalam Perang Melawan Narkoba? - Warta Global Jatim

Mobile Menu

Top Ads

Klik

Berita Update Terbaru

logoblog

SEMA No. 3 Tahun 2015: Senjata Tumpul Jaksa dalam Perang Melawan Narkoba?

Tuesday, 10 June 2025

 
Dilema Jaksa: SEMA No. 3 Tahun 2015 Mengaburkan Garis Pertempuran Narkoba
 
Kota BATU|Indonesia menghadapi ancaman serius dari peredaran gelap narkotika.  Perang melawan kejahatan ini membutuhkan langkah tegas dan terukur dari seluruh aparat penegak hukum, terutama Kejaksaan sebagai penuntut umum.  Namun, sebuah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015, yang bertujuan untuk menyeragamkan putusan hakim, justru menimbulkan dilema bagi para jaksa dalam menjalankan tugasnya.
 
SEMA ini memberikan kewenangan diskresi luar biasa kepada hakim untuk mengurangi hukuman minimal yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya bagi terdakwa pengguna dengan barang bukti "jumlah relatif kecil".  Frasa "jumlah relatif kecil" inilah yang menjadi titik krusial dan menimbulkan ketidakpastian hukum.  Ukuran "kecil" tersebut tidak didefinisikan secara jelas, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda di setiap pengadilan.
 
Ketidakjelasan definisi ini berpotensi menciptakan disparitas putusan.  Kasus yang serupa bisa menghasilkan vonis yang sangat berbeda di pengadilan yang berbeda, tergantung interpretasi hakim terhadap "jumlah relatif kecil".  Hal ini membuat jaksa berada dalam posisi dilematis:  apakah tetap menuntut sesuai Undang-Undang dan berisiko tuntutannya ditolak hakim, atau mengikuti "arahan" SEMA yang berpotensi melemahkan efek jera?
 
Bagi jaksa, pidana minimal dalam Undang-Undang Narkotika merupakan representasi keseriusan negara dalam memberantas kejahatan ini.  Pidana minimal bukan hanya angka, tetapi simbol komitmen negara untuk memberikan efek jera maksimal kepada pelaku.  SEMA Nomor 3 Tahun 2015, dengan kewenangan diskresinya, seolah menciptakan "jalan tikus" hukum yang menggerus kekuatan tuntutan jaksa.
 
Ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh SEMA ini juga berdampak pada efek jera.  Publik bisa menerima sinyal yang salah:  bahwa ada toleransi dan "diskon hukuman" bagi pengguna narkotika skala kecil.  Hal ini dapat melemahkan semangat perang total melawan narkoba yang selama ini digaungkan pemerintah.
 
Lebih lanjut, SEMA ini menciptakan wilayah abu-abu dalam penegakan hukum.  Sebagai peraturan pelaksana, SEMA seharusnya memberikan penjelasan yang lebih rinci dan terang, bukan justru menciptakan kerancuan dan ketidakpastian.  Hal ini justru mempersulit tugas jaksa dalam menjalankan tugasnya.
 
Dilema yang dihadapi jaksa bukan hanya soal teknis hukum, tetapi juga soal integritas dan marwah institusi Kejaksaan.  Mereka terjepit antara menegakkan Undang-Undang dan mengikuti "arahan" SEMA yang berpotensi mereduksi efektivitas pemberantasan narkoba.
 
Oleh karena itu, perlu adanya revisi atau klarifikasi terhadap SEMA Nomor 3 Tahun 2015 agar memberikan kepastian hukum dan tidak mengaburkan garis pertempuran dalam perang melawan narkotika.  Kejelasan definisi dan batasan yang tegas sangat dibutuhkan untuk memperkuat peran jaksa dalam menegakkan hukum dan menciptakan efek jera yang maksimal.
 
Pada akhirnya, pemberantasan narkotika membutuhkan sinergi dan kepastian hukum yang kuat.  Jaksa sebagai ujung tombak membutuhkan senjata hukum yang tajam dan jelas, bukan pedoman yang justru melemahkan perjuangan mereka.  Tanpa kepastian hukum, perang melawan narkotika akan semakin berat dan panjang untuk dimenangkan.[fer]




Oleh: Erik Eko Bagus Mudigdho

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Negeri Surabaya





Klik