
Surabaya.Warta Global Jatim.id
Dunia politik tanah air kembali diguncang! Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menangkap Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan sabtu(8/11/2025).
Kasus ini menambah daftar panjang kepala daerah yang terseret praktik korupsi, sekaligus memperlihatkan betapa mengakarnya budaya transaksi jabatan di lingkaran birokrasi daerah.
Pakar Hukum Pidana Dr. Wahju Prijo Djatmiko, alumnus Universitas Diponegoro (UNDIP) sekaligus mantan kandidat Capim KPK 2024, dengan nada keras menyebut peristiwa ini sebagai “tamparan keras bagi moral pejabat publik.”
“Kejadian ini menambah catatan kelam penyelenggara negara. Seolah tidak ada rasa malu, tidak ada efek jera. Ini bukti nyata bahwa sebagian pejabat publik kita sudah kehilangan kesadaran moral dan hukum,” tegasnya saat ditemui di Surabaya, Sabtu (8/11/2025).
Wahju mengungkap data mengejutkan: selama 2020–2024, KPK mencatat 61 kepala daerah terlibat tindak pidana korupsi.
Menurutnya, fakta ini menjadi bukti nyata lemahnya komitmen integritas di kalangan pejabat daerah.
“Kementerian Dalam Negeri tidak boleh hanya berdiam diri. Implementasi Perpres Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi masih setengah hati. Pengawasan dan supervisi harus diperketat — jangan hanya sibuk pencitraan!” seru Wahju.
Ia menegaskan, pencegahan lebih penting daripada penindakan, karena praktik jual beli jabatan dan promosi berbasis balas budi kini telah menjadi “rahasia umum” di banyak daerah.
“Kalau perilaku transaksional jabatan ini terus dibiarkan, maka birokrasi kita tidak akan pernah bersih. Jabatan publik bukan barang dagangan itu amanah rakyat!” tegasnya.!
Nada keras juga datang dari Lembaga Kajian Hukum dan Perburuhan Indonesia (LKHPI).
Peneliti hukum Ario Andika Baskoro, S.H. menyebut, praktik transaksi jabatan tergolong gratifikasi atau suap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
“Ketika jabatan bisa dibeli, maka integritas dan kompetensi sudah tak ada harganya. Itulah akar dari rusaknya pelayanan publik di negeri ini,” ujarnya lantang.
Sementara dua rekannya, Intan Oktaviany, S.H. dan Dennyk Felicia Trionita, S.H., menilai akar persoalan korupsi di daerah tidak semata soal moral individu, melainkan budaya politik kekuasaan yang masih transaksional dan berbasis loyalitas personal.
“Setelah Pilkada usai, muncul praktik balas budi politik. Jabatan jadi alat barter kekuasaan. Selama sistem seperti ini dibiarkan, korupsi jabatan akan terus tumbuh subur,” ujar keduanya dalam pernyataan tertulis.
Ketiga peneliti LKHPI kompak menyerukan agar pemerintah pusat dan daerah segera melakukan reformasi struktural total.
Sistem rekrutmen dan promosi jabatan harus objektif, transparan, dan bebas intervensi politik.
“Tanpa langkah konkret, jabatan publik akan terus menjadi komoditas politik. Ini ancaman serius bagi masa depan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas,” tutup Ario.
Kasus OTT Bupati Ponorogo ini kembali menjadi cermin suram wajah birokrasi daerah. Di saat rakyat menanti pelayanan publik yang jujur dan transparan, sebagian pejabat justru sibuk memperdagangkan jabatan demi kepentingan pribadi.
Pertanyaannya: Sampai kapan kekuasaan di negeri ini terus dijadikan ladang transaksi?.(Tomo)


.jpg)