Nganjuk Warta Global Jatim.id
Dugaan kebocoran pendapatan daerah dari sektor pertambangan galian C di Kabupaten Nganjuk kembali mencuat. Kritik keras datang dari Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Forum Aspirasi &Advokasi Masyarakat (FAAM), Achmad Ulinuha, yang menilai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nganjuk tidak maksimal dan terkesan setengah hati dalam menggali potensi pajak dari sektor tambang.
Menurut Achmad, kebocoran PAD dari sektor galian C sudah menjadi persoalan lama yang seolah dibiarkan tanpa penyelesaian serius. Padahal, sistem pengawasan dan penarikan pajak dari aktivitas tambang sebenarnya sangat sederhana jika ada kemauan dan integritas dalam pelaksanaan tugas.
“Ini soal kemauan. Kalau memang Bapenda mau bekerja dengan benar dan sungguh-sungguh, tidak sulit. Volume yang ditambang pasti akan sama dengan volume yang diterima oleh customer, terutama untuk kebutuhan urugan atau pembangunan,” tegas Achmad, Jumat (18/4/2025).
Ia menjelaskan, proses penarikan pajak seharusnya bisa dimulai dari pendataan penerima urugan atau material tambang. Dari situ, volume dapat dihitung, dan kewajiban pajak bisa ditetapkan sebelum kegiatan distribusi dilakukan.
Untuk menggambarkan potensi yang terbuang, Achmad menyajikan satu ilustrasi konkret:
“Misalnya ada proyek pengurugan lahan seluas 5 hektare dengan ketinggian 1,5 meter. Maka secara teknis, urugan yang dibutuhkan sebelum pemadatan adalah sekitar 2 meter. Itu berarti butuh hampir 100.000 meter kubik material,” ungkapnya.
Dengan asumsi harga material bukan logam dan batuan (MBLBB) sebesar Rp20.000 per meter kubik, maka nilai ekonomis dari urugan tersebut mencapai Rp2 miliar. Transportasi material pun tidak sedikit — jika satu truk mengangkut 6 m³, maka akan dibutuhkan sekitar 16.667 ritase truk.
“Bayangkan dampaknya ke jalan-jalan desa dan kabupaten yang dilewati ribuan truk itu. Sementara kalau potensi ini ditarik pajaknya sesuai Perda No. 6 Tahun 2022, di mana pajak MBLB ditetapkan sebesar 20 persen, maka potensi pajaknya bisa mencapai Rp400 juta. Dana sebesar itu bisa digunakan untuk memperbaiki jalan yang rusak akibat aktivitas tambang,” tegas Achmad.
Namun sayangnya, lanjut Achmad, pendekatan seperti ini belum diterapkan oleh Bapenda. Ia menilai masih ada pola kerja yang reaktif dan tidak berbasis data lapangan. Hal ini justru membuka celah bagi praktik penghindaran pajak dan berpotensi merugikan keuangan daerah.
Achmad juga menyoroti lemahnya sinergi antar instansi dalam pengawasan aktivitas pertambangan. Ia menyebut Bapenda tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan dari DPMPTSP, Dinas PUPR, dan Satpol PP sebagai penegak Perda.
“DPMPTSP mengawasi perizinan, PUPR bisa memverifikasi kebutuhan material proyek, dan Satpol PP menertibkan kegiatan ilegal. Semua harus bekerja sebagai satu sistem. Jangan kerja masing-masing lalu saling lempar tanggung jawab,” ujarnya.
Tak hanya itu, ia mendesak agar DPRD Nganjuk dan Bupati melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan pajak sektor tambang, termasuk audit atas realisasi penerimaan dalam dua tahun terakhir.
“Kalau ini dibiarkan, bukan hanya PAD yang hilang, tapi juga kepercayaan publik. Kami di LSM FAAM siap membuka data-data tambahan bila diperlukan,” tutup Achmad.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Bapenda Nganjuk terkait pernyataan ini.Tomo
KALI DIBACA